Manajer Sering Lupa Pada Dirinya
PERKEMBANGAN
dunia bisnis dan ekonomi telah mengubah kondisi ika-tan keluarga tradisional.
Ini terutama berlaku pada para eksekutif atau manajer senior. Bekerja 10 jam
sehari, enam hari se- minggu, cemas me-ngenai pekerjaan, keliling du-nia
berkepanjangan untuk urusan bisnis, dan terpaksa menjamu tamu atau klien perusahaan
pada hari-hari is-tirahat
— jelas menyita waktu yang seharusnya disediakan untuk keluarga.
Berangsur-angsur, pasangannya — suami atau istri — belajar un-tuk
secara emosional inde-penden. Begitu pula anak-anak, mereka belajar hidup tanpa
langsung merasakan kasih sayang dan ajaran/didi-kan orangtua.
Para
eksekutif/manajer senior yang terputus dari ikatan keluarga tradisional mencari
tambatan baru yang dikenal-nya, yakni perusahaan.
HIDUP
MATI DI PERUSAHAAN.
Seperti
dalam kehidupan keluarga, perusahaan pun mempunyai struktur — sebagian
berperan sebagai pimpinan, umumnya menjadi pengi-kut. Pimpinan keluarga
Dewan direksi, CEO atau pa-ra manajer) menetapkan pera-turan-peraturan.
Jika karya-wan mematuhi peraturan itu, perusahaan akan memenuhi ke
butu-han-kebutuhan pokok yang dirasakannya: jaminan, dukungan, dan tantangan —
persis sama dengan apa yang ada dalam keluarga.
Dengan
tersedianya apa yang dibutuhkan, para ekse-kutif dan jajaran pimpinan lainnya
akan merasa terikat, dan bahkan tindakannya, pikirannya, dan pertumbuhan
priba-dinya akan diatur oleh perusahaan. Dia menjadi mi-lik perusahaan, dan
dia ter-paksa membayar mahal untuk menerima peran tersebut.
Dalam
buku The Addictive Organization tulisan Anne Wilson Schaef dan Dianne
Fasel, disebutkan bahwa pe-rusahaan dan jajaran pimpinannya dalam menjalankan
kontrol terhadap karyawan dan menuntut pengabdian total mereka, sebenarnya men-jadi
kecanduan dalam proses tersebut. Persis seperti kecan-duan obat bius, mereka
ke-canduan pada kegiatan-kegia-tan dan interaksi yang terjadi di perusahaan.
Seringkali
para eksekutif/manajer senior itu bukan hanya kecanduan pada
kebia-saan-kebiasaannya sendiri, tetapi juga ikut kecanduan pa-da
kebiasaan-kebiasaan orang yang lebih atas dari mereka, atau pada organisasinya.
Apa yang dilakukan oleh atasan atau organisasinya sangat ber-pengaruh terhadap
sikap dan perilakunya.
Jika
keluarga yang sesung-guhnya, atau stimulus luar lainnya, menyebabkan dia
berpikir atau bertindak di luar yang digariskan oleh perusa-haan, dia merasa
sangat ber-salah. Keter-gantungan ini mendikte dia agar dia me-ngabdikan
hidupnya pada pe-rusahaan; dan usaha demi kepen-tingan perusahaan; dan agar dia
menempatkan peru-sahaan di atas segala-segala-nya demi kebaikan perusaha-an.
Ada
yang menyebut proses tersebut sebagai brainwashing. Mungkin benar.
Jajaran pimpinan peru-sahaan tahu benar bahwa untuk melindu-ngi citra
perusahaan, yang juga berarti demi kepentingan mereka pribadi, mereka harus
menyatu dengan perusahaan. Banyak yang berhasil. Tetapi yang gagal juga
bertambah banyak. Timbul dilema psi-kologis ketika
para eksekutif/manajer senior mulai
mem-pertanyakan, apakah keter-gantungan semacam itu bijak-sana? Apa untung
ruginya? Maka para eksekutif mulai bingung, frustrasi, dan ketakutan.
Banyak
eksekutif/manajer senior itu akhirnya menya-dari, ketergantungan pada
perusahaan sangat membeba-ni mereka. Karena tidak puas dengan gaya hidup
perusaha-an, frustrasi karena motif-motif atasan atau perusahaan yang tidak
jelas, dan merasa tertipu oleh ajaran-ajaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
tin-dakan-tindakan peru-sahaan, maka para eksekutif itu akhirnya merasa
tergang-gu emosinya. Ke-banyakan hanya gangguan ringan, tetapi ada juga yang
sangat berat. Untuk bisa mengatasinya, di-perlukan waktu. Panjangnya waktu
penyembuhan tergan-tung pada berat ringannya gangguan tersebut. Kalau
gangguannya terasa sangat berat, maka diperlukan pe-ngorbanan dan usaha
pe-nyembuhan yang lebih besar pula. Tetapi bagai-manapun, perlu ada perubahan
dalam pola kehidupan, dan peruba-han-perubahan itu harus datang dari diri
sendiri.
MENUJU
JIWA YANG SEHAT
Eksekutif
ataupun karya-wan yang merasa kecewa atas sikap dan perilaku atasan atau
perusahaan, yang secara emo-sional menjadi labil akibat gaya hidup yang diatur
peru-sahaan sebenarnya dapat membebaskan
diri dari “perbudakan” itu.
Ada
tiga tahap cara untuk menyelamatkan diri. Tahap pertama terdiri dari empat
langkah: 1) Mengakui. 2) Mengenali. 3) Mengidenti-fikasi. dan 4) Redifinisi.
Tahap
kedua: Mengada-kan perubahan-perubahan radikal dalam pola perilaku dan hubungan.
Tahap
ketiga: Menyusun dan melaksanakan gaya hidup baru.